Di tengah hiruk-pikuk panggung politik Indonesia, dua istilah ini sering terdengar bergema: politik elektoral dan politik elit. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang sama, namun dengan nilai yang berbeda. Di satu sisi, politik elektoral dengan segala keriuhan kampanyenya, di sisi lain, politik elit yang seringkali berlangsung di ruang-ruang yang senyap.
Politik elektoral di Indonesia sering kali dipandang sebagai pesta demokrasi. Setiap lima tahun sekali, rakyat diberi kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya, dari kepala desa hingga presiden, dari bpd hingga dpr. Namun, apakah ini benar-benar partisipasi atau sekadar ilusi? Kita melihat bagaimana politik elektoral kerap kali menjadi ajang pertunjukan, di mana yang terpenting adalah citra dan popularitas, bukan substansi dan atau kebijakan.
Sementara itu, politik elit di Indonesia bisa dilihat dari cara kekuasaan berputar. Kekuasaan cenderung berada di tangan segelintir orang yang memiliki akses dan sumber daya. Mereka ini adalah para pemain di balik layar, yang keputusannya sering kali lebih menentukan daripada hasil pemilu itu sendiri.
Dalam praktiknya, politik elektoral dan politik elit di Indonesia sering kali berjalan beriringan. Idealisme demokrasi yang menghendaki partisipasi luas dari rakyat seringkali harus bertabrakan dengan realitas politik elit yang eksklusif. Ini adalah dilema yang terus menerus menghantui proses demokratisasi di negeri ini.
Politik elektoral dan politik elit di Indonesia adalah dua realitas yang tidak bisa dipisahkan. Namun, bukan berarti kita harus pasrah pada status quo. Harapan untuk perubahan selalu ada, dan itu dimulai dari kesadaran kolektif untuk terus mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap lini politik. Kita, sebagai rakyat, memiliki kekuatan untuk mengubah narasi, dari politik yang hanya untuk segelintir elit menjadi politik yang benar-benar dari, oleh, dan untuk rakyat.