Pada kelas X ini kalian akan mengkaji cara pandang para pendiri bangsa dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara telah dilalui dalam waktu yang panjang, mulai dari sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK), Panitia Sembilan, sampai ditetapkan oleh sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Proses itu menyertakan sejumlah peristiwa pentin-g seperti Pidato Sukarno pada 1 Juni 1945, penandatanganan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, hingga pengesahan Pancasila sebagai dasar negara dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945. Jika dicermati, tiap-tiap peristiwa tersebut tidak bisa dianggap berdiri sendiri. Ketiganya harus dilihat sebagai satu kesatuan proses yang mengikutsertakan beragam gagasan besar dan dinamika penting yang diperlihatkan para pendiri bangsa di dalam maupun luar sidang BPUPK dan PPKI.
Selanjutnya, pada bab ini kalian juga akan mendiskusikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan ideologi negara. Melalui subbab ini kalian diajak menganalisis pentingnya memahami Pancasila dalam tiga kedudukannya tersebut.
Kemudian, kalian juga akan mengkaji penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada bagian ini kalian akan diajak untuk berpikir kritis dan reflektif apakah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini sudah menerapkan Pancasila. Kalian akan diminta untuk merefleksi “Apakah kalian telah mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari?” Untuk memudahkan kalian dalam mencapai kompetensi dari capaian pembelajaran ini, cermati materi berikut!
Sidang pertama BPUPK yang berlangsung sejak 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 merupakan forum bagi para pendiri bangsa untuk mendiskusikan apa yang menjadi dasar bagi Indonesia yang akan merdeka. Hal-hal yang disampaikan para pendiri bangsa dalam sidang tersebut tentu menarik untuk dicermati. Tiap-tiap tokoh tentu memiliki gagasan yang berbeda meskipun ada kemiripan satu sama lain. Kita akan mencermati lebih jauh pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa itu, termasuk gagasan yang disampaikan Sukarno tentang Pancasila dalam pidato yang disampaikannya pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Selain menjadi penanda bagi lahirnya Pancasila, pidato tersebut juga menjadi sumber atau rujukan utama bagi kita semua untuk memahami Pancasila.
Gagasan-Gagasan dalam Sidang Pertama BPUPK
Pada pembukaan sidang pertama BPUPK, satu pertanyaan dilontarkan oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPK dalam pidatonya. Satu pertanyaan itu berisi hal yang menjadi pokok pembahasan sidang pertama BPUPK. Pertanyaan itu berbunyi, “Apa dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk?” Selama empat hari berturut-turut (29 Mei–1 Juni 1945) para anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapat secara terbuka. Suasana persidangan memberikan kesempatan kepada para anggota BPUPK untuk menyampaikan gagasan atau pemikirannya guna menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa suasana persidangan pada saat itu relatif bebas dari gangguan dan tekanan penguasa Jepang sehingga setiap anggota BPUPK secara leluasa mengemukakan gagasan-gagasannya. Dengan demkian, berbagai pandangan atau ide yang muncul di dalam sidang adalah murni berdasarkan aspirasi dari para anggota BPUPK. Namun demikian, gagasan-gagasan yang disajikan dalam pidato mereka lebih terkait dengan bentuk negara, cara menjalankan pemerintahan, dan sebagainya (Tabel 1.1). Kalaupun ada, apa yang disampaikan mereka menyangkut persoalan dasar negara, tidak disampaikan secara utuh. Menurut Muhammad Hatta dkk. dalam tulisannya berjudul Uraian Pancasila (1984), hal itu disebabkan para anggota BPUPK memang tidak ingin menjawab pertanyaan tentang dasar negara. Mereka khawatir jawaban mereka tidak secara keseluruhan dapat diterima oleh seluruh anggota sidang dan akan menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Namun demikian, dari berbagai sumber sejarah, beberapa gagasan yang muncul melalui pidato-pidato yang disampaikan para pendiri bangsa dalam sidang pertama BPUPK adalah sebagai berikut.
No. | Nama Tokoh | Gagasan dalam Sidang Pertama BPUPK |
1 | Mohammad Yamin | Tidak secara khusus menyampaikan dasar negara, namun mengemukakan dasar tiga: 1) permusyawaratan (Quran)-mufakat (adat), 2) perwakilan (adat), 3) kebijaksanaan (rationalism). |
2 | R.A.A. Wiranatakoesoema | Pentingnya keselarasan/harmoni dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa dan syarat utama “rasa persatuan” yang tidak membeda-bedakan, saling menghargai. |
3 | K.R.M.T.H. Woerjaningrat | Kemerdekaan harus bersendi kekeluargaan bangsa Indonesia. |
4 | Soesanto Tirtoprodjo | Dasar fundamental negara antara lain: 1) semangat kebangsaan, 2) hasrat persatuan, dan 3) rasa kekeluargaan. |
5 | A.M. Dasaad | Indonesia merdeka harus berdasar pada “iman dan tawakal kepada Tuhan Allah Yang Mengendalikan langit dan bumi”. |
6 | Moh. Hatta | Dasar ketuhanan harus diwujudkan dengan memisahkan urusan agama dari urusan negara. |
7 | R. Abdoelrahim Pratalykrama | Dasar negara yaitu: 1) persatuan rakyat, dan 2) agama Islam dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi pemeluk agama yang bukan Islam. |
8 | Soepomo | Dasar persatuan, semangat kekeluargaan, dan semangat gotong royong sangat relevan dengan corak masyarakat Indonesia. Negara harus memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur. |
9 | Ki Bagoes Hadikoesoemo | Meminta agar Islam dijadikan dasar dan sendi negara. |
10 | Sukarno | Memaparkan lima dasar negara (Pancasila): 1) kebangsaan, 2) internasionalisme/perikemanusiaan, 3) mufakat/demokrasi, 4) kesejahteraan sosial, dan 5) Ketuhanan. |
A. Gagasan Sukarno tentang Pancasila dalam Pidato 1 Juni 1945
Sejarah mencatat bahwa satu-satunya orang anggota yang menjawab secara utuh dan komprehensif pertanyaan Ketua BPUPK tentang dasar negara Indonesia adalah Sukarno. Dengan berpidato tanpa teks pada 1 Juni 1945 selama satu jam, yaitu sekitar pukul 09.00 sampai dengan 10.00, Sukarno menjawab pertanyaan dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar negara untuk Indonesia yang akan merdeka dengan mengatakan di awal pidatonya sebagai berikut.
“Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya… Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda, “filosofische grondslag” dari pada Indonesia merdeka”.
Apa itu filosofische grondslag? Filosofische grondslag diambil dari bahasa Belanda yang artinya filsafat atau pikiran yang menjadi dasar dari sebuah negara. Berdasarkan pidatonya pada 1 Juni 1945, Sukarno mengemukakan bahwa filosofische grondslag atau pemikiran yang akan menjadi dasar bagi negara Indonesia merdeka harus bersifat kuat dan mencerminkan nilai-nilai paling mendasar, hakiki, dan penting untuk mengatur kehidupan bernegara yang didirikan di atasnya. Oleh karena itu, dalam pidatonya tersebut, Sukarno menjelaskan bahwa dasar negara yang diusulkannya bagi Indonesia merdeka adalah sebagai berikut.
- Kebangsaan : Dasar pertama yang dikemukakan oleh Sukarno adalah kebangsaan seperti yang dikatakannya berikut. “Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan ‘le desir d` etre ensemble (keinginan untuk hidup bersama) di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia… yang telah ditentukan oleh Allah swt tinggal di kesatuan semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!” Sebagai satu dasar, kebangsaaan yang dimaksud Sukarno bukan sekadar keinginan dari setiap orang yang memiliki kesamaan nasib dijajah untuk bersatu menjadi sebuah bangsa Indonesia, melainkan juga kebersatuan antara orang-orang yang menjadi bangsa Indonesia tersebut dengan tanah airnya.
- Internasionalisme (Perikemanusiaan) : Dasar kedua ini disampaikan Sukarno dalam pidato pada 1 Juni 1945 berikut. “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia… Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua yang boleh saya namakan internasionalisme.” Internasionalisme yang dimaksud Sukarno sebagai dasar yang kedua adalah penghargaan bangsaIndonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal bagi seluruh umat manusia. Dengan itu, bangsa Indonesia tidak hanya harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupannya, tetapi juga tidak boleh meremehkan bangsa-bangsa lain dan mesti menuju persaudaraan dunia.
- Mufakat dan Permusyawaratan/Perwakilan (Demokrasi) : Lalu sebagai dasar yang ketiga, Sukarno mengusulkan mufakat dan permusyawaratan/perwakilan (demokrasi) seperti yang dijelaskan dalam pidatonya berikut ini. “Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.” Dengan dasar yang ketiga ini, menurut Sukarno, ia menginginkan agar negara Indonesia yang akan didirikan nantinya merupakan milik bersama dan bekerja untuk semua rakyat Indonesia. Oleh karena itu, negara harus menjunjung tinggi setiap aspirasi rakyat Indonesia untuk dapat dimusyawarahkan melalui sebuah lembaga perwakilan rakyat yang bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.Kesejahteraan Sosial
- Kemudian : dasar keempat yang diusulkan Sukarno melalui Pidato 1 Juni 1945 adalah kesejahteraan sosial. Dengan dasar ini, Sukarno mengusulkan agar negara Indonesia yang berdiri kelak harus mewujudkan kesejahateraan yang tidak hanya mencakup kelompok tertentu, tetapi kesejahteraan yang dapat dinikmati secara adil oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan itu, perwujudan kesejahteraan sangat lekat dengan prinsip keadilan seperti yang dijelaskannya dalam pidato berikut. “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan.”
- Ketuhanan : Lalu, sebagai dasar yang kelima, Sukarno mengusulkan Ketuhanan seperti yang disampaikan berikut. “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri… dan hendaknya negara Indonesia satu negara ber-Tuhan… ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Yang dimaksud bertuhan oleh Sukarno bukan hanya negara Indonesia, tetapi juga setiap orang yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dengan dasar ketuhanan ini, seluruh orang Indonesia dikehendaki untuk menjalankan ajaran agama yang diyakininya secara leluasa dengan cara yang berkeadaban, yakni saling menghargai dan menghormati perbedaan agama-agama lain. Gagasan Sukarno tentang lima dasar negara bagi negara Indonesia yang akan merdeka tersebut diberi nama Pancasila. Menurutnya dalam Pidato 1 Juni 1945, kata Pancasila berasal dari gabungan dua kata bahasa Sanskerta, yaitu panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar. Sebelum menyelesaikan pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa jangan mengira dengan tercapainya kemerdekaan, maka perjuangan bangsa Indonesia telah mencapai tujuannya. Kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan. Bangsa Indonesia harus mewujudkan cita-citanya pada masa kemerdekaan. Perjuangan mewujudkan hasrat dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia hanya akan tercapai jika rakyat tidak takut menghadapi tantangan dan risiko. Sebagai penutup pidatonya pada 1 Juni Sukarno mengatakan, “Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad, merdeka, merdeka atau mati!”