Halo Warga Belajar PKBM Insan Desa!
Pernah nggak kamu ikut milih ketua kelas atau ketua OSIS? Masing-masing orang pasti punya alasan sendiri kenapa memilih si A atau si B—karena dia pintar, baik, atau ya… sering traktir, hehe.
Nah, ternyata, suasana seperti itu juga pernah terjadi di Indonesia, lho, sekitar tahun 1950-an. Saat itu, negara kita yang masih muda juga sedang belajar memilih—bukan ketua kelas, tapi sistem pemerintahan. Dan inilah yang disebut masa Demokrasi Liberal, sebuah masa ketika Indonesia mencoba menjalankan pemerintahan yang “rasa-rasa pemilu OSIS”—penuh partai, pilihan, dan tentu saja, perdebatan.
Apa Itu Demokrasi Liberal?
Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang membagi kekuasaan dan memberi ruang sebesar-besarnya bagi rakyat buat ikut terlibat. Salah satu caranya? Lewat partai politik. Maka nggak heran, di masa ini, muncul banyak banget partai politik—ada sekitar 56 partai, bayangin aja!
Sistem ini juga dikenal dengan sistem parlementer, di mana presiden hanya sebagai kepala negara, sementara yang menjalankan pemerintahan sehari-hari adalah perdana menteri.
Bagaimana Awal Mula Sistem Ini Muncul?
Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno sempat ingin membuat sistem partai tunggal. Tapi ide ini ditolak, terutama oleh golongan muda seperti Sutan Sjahrir. Akhirnya, Maklumat Pemerintah 3 November 1945 pun keluar, memberi izin rakyat untuk membentuk partai politik.
Mulailah bermunculan partai-partai:
-
Masyumi (umat Islam),
-
Parkindo (umat Kristen),
-
PNI (kaum nasionalis), dan masih banyak lagi.
Selain alasan dalam negeri, Indonesia juga butuh pengakuan dunia luar, terutama dari negara-negara Barat. Maka, dengan menunjukkan bahwa Indonesia bisa berdemokrasi seperti negara-negara maju, harapannya dukungan akan berdatangan.
Perjalanan Penuh Tantangan
Meskipun niat awalnya baik, praktik demokrasi liberal ini nggak semulus yang dibayangkan.
Antara tahun 1950 sampai 1959, ada 7 kali pergantian kabinet:
-
Kabinet Natsir
-
Kabinet Sukiman
-
Kabinet Wilopo
-
Kabinet Ali Sastroamidjojo I
-
Kabinet Burhanuddin Harahap
-
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
-
Kabinet Juanda
Bayangin, baru kerja bentar, udah ganti menteri lagi. Pemerintahan pun jadi nggak stabil karena seringnya konflik antarpartai. Bahkan, ada perlawanan dari daerah-daerah dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Salah satu contoh kasus yang bikin kabinet bubar adalah insiden Tanjung Morawa, di mana kebijakan pemerintah ditentang oleh mayoritas parlemen. Akibatnya? Kabinet Wilopo pun tumbang.
Tapi… Nggak Semua Buruk, Kok!
Meski banyak konflik, ada juga sisi positifnya. Misalnya:
-
Untuk pertama kalinya, Indonesia berhasil menggelar Pemilu demokratis tahun 1955.
-
Terpilihlah anggota DPR dan Konstituante dari berbagai partai.
-
Indonesia juga sukses menggelar Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Akhir dari Demokrasi Liberal
Namun, ketidakstabilan politik nggak bisa terus dibiarkan. Presiden Soekarno pun akhirnya turun tangan. Pada Februari 1957, beliau mengusulkan Konsepsi Presiden—ide untuk membentuk kabinet gotong royong yang mewakili semua partai.
Lalu, pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan mengakhiri Demokrasi Liberal. Sejak saat itu, Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin, di mana keputusan lebih banyak dipusatkan pada presiden.
Kesimpulannya Nih…
Masa Demokrasi Liberal memang penuh warna—kadang kacau, kadang membanggakan. Tapi ini adalah proses penting dalam sejarah bangsa. Seperti anak muda yang belajar memilih pemimpin di kelas, Indonesia pun waktu itu sedang belajar memilih jalan terbaik sebagai negara baru.
Ingat ya, belajar sejarah bukan cuma soal hafalan tahun dan nama tokoh, tapi juga memahami bagaimana bangsa ini tumbuh, belajar, dan memperbaiki diri.
Jangan lupa terus semangat belajar ya, Warga Belajar PKBM Insan Desa! Kalau mau tahu lebih lanjut, langsung aja tonton video di bawah ini! 🎥📚